Sabtu, 17 Desember 2011

Cerita Dalam Sangkar

17 comments

Dan kemudian aku melihat langit yang masih murung
sembari menghisap sebatang rokok dan secangkir kafein
menikmati aroma hujan yang masih mentah.

Aku duduk di teras depan rumah temanku
aku melihat bocahbocah kecil berlarian
bermain air, bermain hujan
bermain keriuhan pada masanya.

Genderang perang masih terus berdengung
bunyinya nyaring, merusak telinga,
mengganggu saraf otakku.

Aku merasakan perang masih terus berlanjut
bukan perang negaranegara penguasa
bukan pula perang saudara tentang barisan militer di ujung negeri sana.

Perang bukan hanya tentang kekerasan
atau sebuah revolusi fisik.
Bukan pula tentang pengeboman di pangkalan udara
ataupun di danaudanau tempat para angsaangsa bercinta
dengan ribuan ilalang yang berdiri kokoh disampingnya.
Bukan pula perang yang mengatasnamakan konsepsi ketuhanan

Aku masih menikmati secangkir kafein
merayu kedua burung kecilku di dalam sangkar,
burung hantu dan kelelawar
yang masih saja berdebat tentang permainan siang dan malam
bermain-main dalam proses kegilaan yang berlebih.

Hujan masih tetap saja mentah.
Dan bukankah kita memang dalam kondisi gila ?

Dan kemudian aku menatap tajam pada mereka
sambil sedikit memicingkan mata.

Aku ingin memukul genderang untuk terakhir kali
bahwa perang harus segera diakhiri,
dan sebenarnya memang benarbenar harus berakhir.

Aku banting secangkir kafein itu kedalam sangkar
lalu menubruknya dari belakang.
Kepalaku pusing,
sepertinya ada beberapa kerikil yang hinggap didalam otakku.

Langit masih tetap murung.
Bukankah kita memang sedang menunggu malam berkabar terang ?
Atau mengumpulkan tiap tetes keringat di pagi hari

Kedua burung kecilku tergulai lemas
setelah tadi aku tubruk dari belakang.
Dan kali ini aku mengambil pisau.
Menusuk mereka tepat di depan mata.
Dan darah memang berceceran

Aku masih duduk di teras depan rumah temanku
sembari menikmati sisasisa hujan yang tetap saja mentah.
Genderang masih berdengung meskipun lirih,
tapi bukankah kita benarbenar dalam kondisi kegilaan yang berlebih ?


patrang, 18/12/2011
1:09 am
jember masih sedikit dingin

Rabu, 22 Desember 2010

semasa senja

6 comments

Sesampainya tengah malam
angin mengoyak-ngoyak dedaunan
dingin jadi selapuk kayu

Ini malam tak lagi bertuan
bercinta dengan rembulan pun aku sudah risih

Bukankah aku hidup semasa senja ?
melihat jingga berdebat dengan burung gereja
dan tentu saja tidak lagi mengharap hidup
pada mendung dan hujan

Dan bukankah aku ini hidup di masa senja ?
sembari berpulang – berlalu
mendongak bersama burung hantu
bukan berguru pada kelelawar


13 november 2010
00 : 26
kosan tegal gede

Sabtu, 04 September 2010

bocah penjemput senja

6 comments

Bukankah mereka selalu berlari ?
berlari, hingga di pucuk negeri
menjemput jingga, bukan di kota tua
bukan pula di padang semesta

Bukankah merekalah bocah-bocah itu ?
mengejar layangan sepulang sekolah
bertumbuk dengan terik di pedesaan
melihat ayam jantan yang masih bingung dengan jarum emas,
ya, jarum emas, tuntutan sang elang di masa lampau

Merekalah bocah ingusan itu
berebut layangan dengan sesamanya
mengumpan sepat di pinggir kali
bercanda dengan hujan dan angin

Biarlah . . .
biarlah, mereka tetap berebut layangan
bercanda dengan hujan dan awan
bukan mencari nasi di pinggir jalan
bukan pula mengemis di pagi buta

Biarlah, mereka tetap mengumpan sepat di pinggir kali
bermain kelereng di halaman belakang
bukan mengamen di perempatan
bukan pula jadi bocah perantauan

Bukankah mereka selalu berlari ?
menjemput jingga di kala senja
beradu mimpi pada masanya


03-09-2010 ; 02:00
kosan tegal gede
kuswandhana

Rabu, 12 Mei 2010

“ janur di saat sore “

1 comments

( untuk Astutik yang sedang bahagia )

Kali ini menjelang sore
panas mentari tak begitu menyengat
semilir angin bak daun ketapang berjatuhan
diiringi hiruk-pikuk mahasiswa

Kunikmati ultraviolet dengan segelas kopi
sembari kuhisap rokok
dengar kicau burung, merdu

Sore ini menjadi bahagia
sesosok perempuan tape, pandangi lengkungan
janur kuning di depan rumahnya, seuntai
melati pun melekat di kepalanya

Masih menjadi sore
canda, tawa, tangis kebahagiaan
dalam ritual sunnah rasul-Nya
setelah bertahun-tahun, tiba saat sore

Sore selalu bahagia, kali ini
aku bisa merasakan senyumnya
tapi, aku tak ada disana …


okik
( 02:01 ; 060510 )

Kamis, 29 April 2010

senyuman

1 comments

Eksotisme pagi selalu terasa
saat mentari keluar dari peraduannya
kicau burung gereja memikat pasangannya
tangis bayi serta senyuman anak-anak,
siapa yang tak tercengang olehnya ?

Aku terpesona pagi
tiap tetes embun yang jatuh
kulihat senyum membias stomatanya
pejantan pun tersenyum
rayu betinanya
sungguh, aku terpesona pagi

Jingga, bertalu rindu kau bertanya
ah... kini hari sudah senja
tak mampu kujawab apa adanya

Aku hanya ingin tersenyum
tersenyum atas tanya yang Kau beri
tersenyum lima kali sehari . . .


okik
( 210410 ; 18:37 )

Senin, 22 Maret 2010

“ seorang pecundang “

2 comments

Sebuah kisah tengah menengadah
tak mau menghadap kebawahnya
sembilan bukan yang lalu
sakit yang kunikmati, selalu
kini mulai pahit, terasa

Aku ingin terus menulis
menjadi baris dari tiap baitmu

Ini raga seorang pecundang
ketika sajak-sajakku
hilangm pergi, ataukah tercuri ?

Ini hidup seorang pecundang
diinjak-injak tak bisa melawan
dicampakkan jiga diacuhkan
sungguh, tak begitu menyenangkan

Andai delapan pedang mata angin
hendak menghunus mataku
aku mau empat pedang menancap pada hatiku
dan sisanya menghunus jantungku
agar aku masih bisa melihat
dinamika kehidupan, masih sama

Ketika lingkungan di sekitar tak peduli
selalu terjebak animo masyarakat sekitar
memang, terjebak pada hidup yang terencana

Aku ingin tetap menengadah
berharap pada sajak-sajakku, sajak lamaku
kutunggu, dan kupungut serta

Inilah hidup seorang pecundang
ingin tetap menengadah sajak lamanya


( 020310 ; 03:05 )
Kamare langgeng

Senin, 01 Maret 2010

antara beda dan sepi

0 comments

Kali ini serasa beda
Saat kubuka mata
Kujejakkan langkah
Namun sesak dada

Malam kembali sepi
Jalanan tampak malamnya
Bukan hari seperti biasa, entah
Tak kudengar korek pemulung menyulut sebatang rokok
Ataupun gepeng, penguasa kali ini

Malam kembali sepi
Bertalu rindu tak bertabur penghuninya
Langit tak berpendar gemintang
Tak jua biaskan cahya rembulan
Awan lambaikan tangan menatap kebawahnya
Ah, kau tak bertutur sapaku

Kali ini serasa beda
Ini malam kembali sepi
Aku yang beda
Aku yang sepi


250210 01:42
Kamare langgeng